Spiritual Engineering Quotient

www.bigoo.wswww.bigoo.wswww.bigoo.ws

Puasa dan Rekonstruksi Diri Manusia

Puasa yang sedang dijalankan kaum Muslimin di seantero dunia, saat ini, menjadi momentum penting bagi Muslimin untuk “meningkatkan” nilai-nilai spiritual dirinya, sebagai “media” ber”semayamnya” rahasia besar, yang telah ada semenjak ajali. Rahasia besar ini yang dinamakan dengan “amanah” yang telah ditawarkan kepada petala langit-langit dan bumi, namun keduanya menolak menerima-Nya, tidak sanggup menerima beban besar yang akan ditanggung oleh dirinya. Dan, manusia “berani” menerima “amanah” besar tersebut, tapi—dalam perjalanan selanjutnya—manusia lalai dan bodoh (tidak tahu diri).

Amanah besar tersebut, tiada lain, ialah insân terpuji (Muhammad, artinya secara linguistik adalah yang terpuji). Mengapa menjadi manah besar? IA menjadi kutub meridien dari semua prosesi peribadatan kepada Maha Bijaksana, AlLâh SWT. IA dijadikan sebagai tempat “persambungan” Tuhan dan para malaikat, serta orang-orang yang beriman. “Sesungguhnya AlLâh dan para malaikat bersambung (yushallûna) di atas nabi, hai orang-orang beriman bersambunglah kepadanya, dan serahkan dirimu sekalian dengan penyerahan yang sempurna.” Mengapa masih banyak orang meragukan eksistensi insân terpuji? Bukankah asal muasal semua kejadian berasal dari insân terpuji? “Kalaulah bukan engkau, wahai Muhammad, Aku tidak akan menciptakan kosmos ini”, demikian tegas Tuhan dalam hadits qudsi.

Definisi Puasa
Puasa diserap dari dua kata Sansekerta, yaitu "upa" = dekat dan "wasa" = berkuasa. Jadi "upawasa" biasa dilafalkan sebagai puasa, merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam bahasa Inggris "Fasting" yang diserap dari kata Jerman kuno "fastan" = menggengam. Puasa dalam bahasa Ibrani tsum, tsom dan "inna nafsyo" yang berarti merendahkan diri dengan berpuasa, sedangkan dalam bahasa Yunani = nesteuo, nestis atau asitia/asitos. Bahasa Arabnya shaum atau shiam.

Melihat etimologi puasa dari bahasa Sansekerta, artinya “dekat berkuasa”. Merefleksikan pikiran kita pada, bahwa orang yang dekat kepada-Nya pasti memiliki kekuasaan untuk melakuak suatu pekerjaan bagi peningkatan kreatifitas dan inovasi dirinya, sehingga teraktualisasikan nilai-nilai spiritual yang telah ada dalam dirinya ke dalam kampas realitas kehidupan yang membutuhkan misi dan visi yang tepat. Tiada logika yang dapat menyangkal pemikiran demikian. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana mendekatkan diri kepadanya, sehingga memiliki “kekuasaan-Nya”? Semua orang berusaha untuk mengiterpretasikan dari makna “ibadah” (mendekatkan diri kepada-Nya), sesuai dengan tingkatan intelektualnya. Tapi, hakikatnya, semua orang tersebut, adalah mencari “pendekatan” pikiran yang sesuai dengan maksud dan tujuan serta keinginan Tuhan terhadap para hamb-Nya dalam mendekatkan diri kepada-Nya.

Metode untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, terus digulirkan oleh para cendikiawan (ulama) dengan mengukil beberapa teks keagamaan; Al-Qur’an dan Hadits. Ternyata belum sampai pada pendekatan hakiki, yang sesuai dengan keinginan Tuhan. Mengapa demikian? Metode efektif dan ideal sesuai perjalanan intelektual dan pengalaman spiritualitas setiap diri manusia, adalah dengan metode pengenalan diri. Bagi orang-orang yang telah kenal dirinya, mereka kenal eksistensi Tuhannya dengan tepat, dan dapat dibuktikan serta dirasakan secara nyata, sehingga muncul sebuah keyakinan yang paripurna (haqul yakin), bahwa mereka telah dekat dengan-Nya. “Barangsiapa yang telah kenal dirinya, maka sesungguhnya ia telah kenal Tuhannya.” (Hadits Qudsi)

Kenal diri merupakan main gate bagi mendekatkan diri kepada Tuhan. Bagaimana dapat mendekatkan diri kepada-Nya, sementara diri kita sendiri tidak kenal dengan baik. Tuhan tidak bersemayam di mana-mana, seperti yang diceritakan dalam sebuah sinetron televisi, Tuhan ada di mana-mana. Tuhan hanya “bersemayam” dalam diri manusia, dan hanya hati orang berimanlah yang sanggup menerima eksistensi Sang Maha Wujûd. Kalau eksistensi ketuhanan telah dipahami berada dalam diri manusia, langkah selanjutnya untuk mendekatkan diri kepadanya, adalah menjadi sesuatu yang mudah. “Carilah segala sesuatu dalam dirimu”, demikian pernyataan seorang filosof dari Turki.

Adapun makna puasa dari bahasa Inggris, yaitu “menggenggam”. Artinya, kalau kita telah dekat dengan-Nya, maka kekuasaan-Nya dapat kita “genggam” untuk diaktualisasikan ke dalam penciptaan kreatifitas bagi pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan manusia. Bisakah manusia “menggenggam” kekuasaan-Nya? Ingat pesan Tuhan dalam hadits qudsi yang berbunyi; “Kalau Aku telah mencintai hamba-Ku, maka Aku akan menjadi matanya untuk dia melihat, menjadi tangannya untuk bekerja, dan menjadi kakinya untuk berjalan.”

Sedangkan makna puasa dari bahasa Ibrani, yaitu “merendahkan diri”. Orang-orang yang telah kenal kepada hakikat sejati dirinya/hakikat eksistensi Tuhannya, mereka akan rendah diri. Karena orang-orang bijak, lebih banyak diam dan berpikir. Diam artinya, mereka senantiasa mengingat eksistensi ketuhanannya yang telah menjadi rahasia dirinya, pada setiap gerak dan langkahnya, bermeditasi (tafakur) sepanjang masa; tidak mengenal waktu dan tempat, mereka selalu ingat kepada-Nya. Mereka tidak banyak bicara—mengurangi pembicaraan yang dapat melalaikan dirinya untuk ingat kepada-Nya—permasalahan lain, kecuali berbicara mengenai ketuhanan dan kemanusiaan. “Barangsiapa yang telah kenal Tuhannya, maka kelulah lisannya.” Oleh karena itu, mereka tidak mendapatkan ruang lagi untuk “menyombongkan dirinya”, karena telah kenal pada hakikat dirinya. Walaupun, pada dasarnya, nilai-nilai ketuhanan itu—di antaranya—Maha Sombong (mutakabbir). Mengapa orang-orang yang “belum” kenal dirinya berlaku sombong dan angkuh?

Mengapa Manusia Harus Berpuasa?
Semua ritualitas peribadatan tidak lepas dari asbab—sebagaimana setiap surat dari Al-Qur’an diturunkan berdasarkan asbab nuzul—dasar pemikiran yang menyertainya. Asbâb peribadatan dalam Islam selalu terkait dengan eksistensi diri manusia. Begitu juga, dengan puasa. Filosofi historis puasa, adalah sebelum kita lahir ke dunia, pada bulan terakhir (dalam rahim ibu), huruf-huruf ditulis dalam diri kita sebanyak 30 huruf (30 huruf ditulis selma 30 hari). Jadi, selama satu bulan (30 hari), 30 huruf ditulis dalam diri kita. Pada waktu pagi, mulai terbit fajar, bayi yang ada dalam rahim tidak menerima makanan dari flasenta, kemudian pada sore hari—terbenam matahari, waktu Maghrib—bayi mendapatkan suplai makanan kembali dari flasenta.

Begitulah, napak tilas kita, yang diaktualisasikan dalam puasa selama bulan Ramadhan. Kalau telah memahami seperti ini, setiap diri kita dalam berpuasa Ramadhan, tidak akan lagi mengharapkan pahala dari semua pekerjaan ibadah di bulan Ramadhan, karena puasa merupakan napak tilas jati diri setiap manusia. Sehingga perenungan napak tilas ini, seyogyanya dilakukan setiap saat, bukan sekedar bulan Ramadhan. Begitu juga dengan peribadatan-peribadatan lainnya, merupakan napak tilas dari perjalanan hidup kita dari lahir sampai mati, dan dari mati sampai terlahir kembali.

“Bagi yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka puasa (fithri), kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhan.” Makna hadits ini, kalau kita melihat dari perspektif lain, akan berarti—sesuai dengan pemikiran di atas sebelumnya—kata fithri (yang diartikan berbuka puasa), adalah memiliki arti juga sebagai ciptaan/citra, sesuai dengan ayat lain yang mengatakan; “AlLâh menciptakan manusia sesuai citra-Nya.” Nah, kalau kita mengartikan kata fithri dengan ciptaan, maka akan berkorelasi dengan makna puasa sebagai napak tilas ketika dituliskan 30 (tiga puluh) huruf dalam diri kita. Jadi, bagi orang yang shâim (puasa) mendapatkan kebagian, pertama ketika diciptakan (fithri), dan kebahagian kedua adalah ketika bertemu dengan Tuhannya. Bertemu dengan Tuhan bukan berarti nanti, di hari akhir, melainkan ketika bayi akan lahir, Rabbul Jalil bertanya kepada bayi, apakah Aku ini Tuhanmu? Saat itu bayi (kita semua) menjawabnya, ya...Engkau adalah Tuhanku. Demikian jelas Al-Qur’an. Dengan demikian, arti dari hadits tersebut, menemukan korelasinya dengan makna puasa sebagai napak tilas. Kebahagian ketika diciptakan dan kebahagian ketika bertemu dengan Tuhan. Bukan sebagaimana yang diartikan selama ini, yaitu kebahagian ketika berbuka puasa, dan kebahagian ketika bertemu dengan Tuhan, nanti di hari akhir. Hendaknya pemahaman terhadap puasa, ditingkatkan oleh diri kita setiap tahunnya, sehingga menemukan makna hakikat dari puasa, dan semakin mendalam penghayatan terhadap ritualitas peribadatan dalam agama Islam. Ajaran Islam memiliki makna filosofi yang dalam, dan sempurna. Tidak seperti agama lain. Karena Islam datangnya terakhir, maka kesempurnaan ajarannya, sudah dapat dipastikan adalah lebih sempurna dari agama lainnya. Namun, mengapa sebagian dari kita, masih memahami semua ajaran Islam secara parsial, dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan terhadap nilai-nilai spiritual dalam semua ajaran Islam.

Begitu juga dengan bunyi ayat Al-Qur’an, yang selalu dijadikan landasan dalam berpuasa, oleh semua kalangan, yaitu “hai orang-orang beriman telah diwajibkan terhadap engkau semua untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada umat terdahulu (sebelum engkau semua), agar kamu bertaqwa.” Dari konteks pemikiran di atas, maka ayat ini akan berbunyi—ketika diterjemahkan—sebagai berikut; “Hai orang-orang beriman, telah dituliskan (diwajibkan) terhadap engkau semua untuk merenungi terhadap napak tilas perjalanan hidupmu ketika dalam rahim ibumu, sebagaimana telah dituliskan (diwajibkan) kepada orang-orang sebelum engkau semua, [hal ini dilakukan] agar engkau semua tunduk (taqwa)/rendah diri.” Tujuan dari puasa, terakhirnya, adalah memiliki jiwa yang rendah diri, tidak angkuh, karena telah mengenal dirinya, orang-orang yang berpuasa akan tawadhu, rendah diri, menghormati terhadap semua orang, dengan penuh kasih sayang dan cinta yang keluar dari lubuk sanu barinya. Itulah harapan dari pelaksanaan puasa secara lahiriah pada bulan suci, Ramadhan.

Refleksi Puasa;
Berdasarkan konsep pemikiran, bahwa puasa adalah suatu perbuatan napak tilas terhadap perjalanan hidup, maka perbuatan puasa dapat memberikan nilai-nilai positif terhdap dimensi kehidupan dalam bernegara, bersosial, berekonomi, dan berpendidikan. Dimensi negara artinya, memberikan spirit terhadap kinerja negarawan dalam mengayuh roda pemerintahan, baik yang ada di lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan lembaga eksekutif. Kinerja ini tentunya, akan bermuarakan pada kepentingan bangsa dan negara, dan tidak akan mendorong pada kepentingan pribadi, karena jiwa puasa sebagai napak tilas menuntut semua negarawan untuk senantiasa ingat pada hakikat sejati dirinya, sebagai media ekspresi dari kekuatan dan kekuasaan Sang Maha Kuasa. Nilai-nilai normatif ini, akan mewarnai kinerja negarawan seiring meningkatnya pemahaman spiritual dalam diri setiap insan.

Carut marut kebernegaraan kita, sedikit banyak, adalah dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman yang hakiki terhadap ajaran agamanya. Secara de jure, mayoritas negarawan Muslimin, seyogyanya memberikan nuansa moral yang puritan juga, namun realitas bericara lain. Bulan Ramadhan ini, dapat dijadikan momentum untuk meningkatkan pemahaman ajaran Islam yang hakiki, sebagaimana dipahami dan dijalankan oleh para spiritualis sejati yang selalu melantunkan kalimat thayyibah, dan mengingat sejati dirinya, tempat bersemayam Tuhan Yang Esa.

Dimensi sosial, nilai-nilai puasa akan memberikan dorongan kuat terhadap kekuatan kesosialan di antara kita. Manusia diciptakan untuk senantiasa mengingatkan satu sama lainnya, terhadap misi dan visi kehidupan yang hakiki, yaitu “mengenal eksistensi diri-Nya.” Misi untuk mencapai tujuan mulia, dapat diwujudkan dengan memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap saudaranya. Bagaimana dapat dikatakan telah beriman seseorang, apabila saudaranya masih ada yang kelaparan? Kelaparan salah satu problematika kemiskinan yang sedang menimpa negeri kaya ini, Indonesia. Mari menyatupadukan misi kehidupan, bagi menggapai kesatuan di antara bangsa Indonesia.

Dimensi ekonomi, kesenjangan ekonomi terjadi dengan mencolok di berbagai lini masyarakat. Kesejanjgan dipicu oleh budaya matealistik yang mengedepankan kaum yang kuat. Merekalah yang akan menggapai kesejahteraan perekonomiannya. Sementara, para dhuafa, hanya menelan ludah saja dari kesejahteraan yang dicicipi oleh para kaum kapitalis Melayu. Melalui spirit Ramadhan, kesejahteraan perekonomian rakyat dapat ditingkatkan, sebagai wujud kepedulian terhadap kaum papa dan miskin ini, melalui pemberdayaan zakat, infaq, sedekah, serta programisasi pemberdayaan ekonomi kecil oleh pemerintah dengan mengedepankan kepentingan kecil di atas kepentingan menengah. Kedhaliman dalam ekonomi, dengan sendirinya menurun, yang ada hanyalah kemaslahatan bersama. Di bawah payung ekonomi kerakyatan, sebenarnya, Muhammad SAW. dapat mensejahterakan umatnya pada masa itu. Aktualisasi ajarannyalah yang harus dihidupkan, dan direalisasikan secara seksama.

Dimensi pendidikan, sulitnya kaum kecil mencicipi pendidikan sesuai amanah Undang-Undang Dasar 45, diharapkan terkikis oleh adanya peningkatan spiritual di setiap diri para pemegang kekuasaan khususnya, dan masyarakat yang peduli terhadap masa depan generasi bangsa, umumnya. Pendidikan bukan hanya dimulai semenjak telah lahir, melainkan semenjak dalam kandungan pun pendidikan harus telah dimulai. Bahkan, dalam ajaran hakikat diri manusia, setiap orang yang akan lahir ke dunia, sebenarnya, telah dapat “diprogram” sedemikian rupa, sehingga sesuai kualtias calon bayi merupakan “produksi” unggulan, dan dengan sendirinya, menjadi generasi bangsa yang dapat diandalkan dengan baik.


posted by SEQ Training Center @ 23.07,

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home


Web Blog SEQ

Penulis

    Saya SEQ Training Center dari United States Organisasi nirlaba yang bergerak dalam peningkatan spiritual pada setiap diri insan terpuji.
    Lihat Profil Lengkap

Arsip

Posting

Links

Powered By

Powered by Blogger
make money online blogger templates