Spiritual Engineering Quotient

www.bigoo.wswww.bigoo.wswww.bigoo.ws

Jualan Kavling di Surga, Mengapa Tidak?

Perjalanan dari Rumah menuju kantor, pada hari Jum´at, 9 November 2007, cukup menarik dan menyenangkan, serta dapat beberapa inspirasi untuk menulis sebuah catatan perjalanan harian. Semenjak awal naik metro mini, telah masuk seorang “pengamen” dengan ditemani sebuah gitar. Ia menyanyikan lagu percintaan yang sedang trend sekarang di kalangan anak-anak muda. Kemudian, ia meneruskan sebuah lagu dari Ebiet G. Ade. Tak lama kemudian, setelah pengamen pertama turun dari mobil, masuk seorang pengamen lagi dengan penampilan sama, dan ditemani juga dengan sebuah gitar, ia menyanyikan lagu lama, dari ciptaan Bimbo. Tanpa beberapa lama juga, masuklah seorang bocah kecil, yang masih berumur 10 tahun, membawakan lagu, dengan diiringi sebuah kecrekan terbuat dari botol air yang berisikan beras.


Pemandangan seperti ini, hampir selalu didapati di perjalanan naik angkutan umum di kota Jakarta, dan mungkin di kota lainnya. Entah semenjak kapan trend mencari nafkah bagi kehidupan dengan menjajakan sebuah nyanyian? Padahal jumlahnya cukup banyak, bahkan kalau didata mungkin mencapai ratusan. Hakikatnya, mereka ingin mencari rizki dengan bekerja seperti masyarakat umumnya, sebagai pekerja. Namun, karena keterbatasan kemampuan dan kesempatan, sehingga mengamen pun menjadi alternatif lain, bagi mengais rizki, sekedar memenuhi perut lapar, yang jauh dari kecukupan, apalagi berlebihan.


Potret wajah kota, saya mencoba menganalisanya dengan sederhana, mengapa fenomena ini semakin menjamur? Faktro pertama, perekonomian negara secara makro, mungkin mulai membaik, tapi dalam ekonomi mikro masih terus harus diperjuangkan. Angka kemiskinan, bukannya mengurang, melainkan semakin bertambah dari tahun ke tahun. Jumlah pengangguran pun, semakin meningkat, dan meningkat. Tetapi walaupun demikian, masih ada sebua asa dalam benak masyarakat untuk tetap eksis menjalani hidup, di tengah atmosfir perekonomian bangsa yang masih kurang menjanjikan bagi masyarakatnya.


Kalau melihat lebih teliti dari perekonomian kita, dari hulu sampai hilir, misalnya saja, kegiatan bisnis, dari mulai jajanan kecil yang seharga Rp. 500,- yang dibuat di pinggir got, alias comberan, sampai dengan jualan gedean dengan harga miliaran, seperti mobil-mobil mewah, masih ada, dan mobil mewah itu berkeliaran di tengah-tengah hiruk pikuk perekonomian masyarakat yang semakin terjepit. Menarik memang untuk dicermati.


Kembali lagi ke pembicaraan perjalanan harian. Dari nyanyian yang dibawakan oleh pengamen seperti di atas, ada sebuah bait nyanyian yang menarik saya, yaitu berbunyikan surga milik Tuhan, manusia tidak akan dapat merasakannya. Mendengar bait nyanyian itu, saya tertegun sebentar, dan bertanya dalam pikiran, mengapa sang penulis nyayian berpendapat demikian? Apakah ia tidak mengetahui surga? Atau belum mengetahui esensi dari kata “surga”?


Surga bukan jauh dari pandangan dan pikiran kita. Surga telah ada di hadapan mata kita. Mengapa masih mengingkari keberadaannya? Semua ciptaan yang telah diciptakan oleh Tuhan, telah ada sekarang ini, bukan nanti pada waktu di mana hari kiamat datang, dan dunia ini hancur. Dalam beberapa ayat, bahkan hampir mayoritas dari isi Al-Qur’an telah berbicara, bahwa kejadian hari Akhir, atau kiamat atau bahkan tentang kedudukan surga dan neraka, adalah telah ada sekarang ini. Mengapa manusia masih mengingkarinya? Para musisi, bukan hanya para da’i saja, memiliki kesempatan untuk menyampaikan misi dan visi kehidupan bagi masyarakat. Bahkan dalam beberapa kesempatan, di televisi, misalnya, ada seorang penceramah menyampaikan isi ceramahnya dengan mendendangkan lagu-lagu. Nyanyian, sedikit banyak, dapat dijadikan sebagai media bagi penyampaian pesan moral. Oleh karena itu, hendaknya sebuah lagu berisikan pesan moral, sehingga kehancuran moral bangsa tidak semakin terpuruk, dan hancur, sehingga kita dikenal sebagai bangsa “barbar”. Karena beberapa tahun yang lalu, tepatnya setelah kejadin bom Bali, bangsa Indonesia tecoreng namanya, menjadi bangsa “teroris”.


Surga diciptakan oleh Tuhan bukan untuk Tuhan sendiri, melainkan untuk para hamba-Nya. Tuhan tidak butuh lagi dengan ciptaan-Nya, ia butuh hanya satu, dari mulai dunia diciptakan sampai akhr zaman, yaitu IA menunggu kekasih-Nya, Sayyidina Muhammad SAW. Dialah yang dicari dan “dibutuhkan” oleh Tuhan, tidak membutuhkan yang lain. Nah, kalau demikian, untuk apa amalan kita lakukan? Kalau Tuhan hanya membutuhkan Sayyidina Muhammad SAW. saja. Titik. Mari kita membuka sedikit cara pandang keberagamaan kita, sehingga menemukan sesuatu yang baru, dan dapat merekonstruksi paradigma berpikir terhadap Agama. Misi utama para nabi dan rasul, serta guru-guru suci, ialah menyampaikan risalah, bagaimana manusia itu mengenal Tuhannya. Carilah ilmu tentang pengenalan ketuhanan! Tuhan tidak akan ditemukan di mana dan kapan saja, kalau tidak mengenal terlebih dahulu terhadap dirinya sendiri. Ilmu kenal diri, itulah ilmu utama yang menjadi main gate dari mengenal ketuhanan.


Surga dan lainnya, telah berada di hadapan kita. Pertanyaan yang ada, adalah bagaimana memahami kedudukan surga yag telah ada di hadapan kita? Bahkan di surga juga sebuah kavling siap untuk dijua, mengapa tidak? (bersambung ke bagian kedua)

posted by SEQ Training Center @ 20.32, ,

TABAYUN

Assalamu'alaikum

Postingan ini merupakan jawaban saya kepada aktifis milis INSIST yang mengomentari syair saya berjudulkan STOP SESAT dan tulisan MENUAI “RAHMAT” BUKAN “LAKNAT”.

Terimakasih kepada ikhwan/akhawat yang ada di milis INSIST yang telah memberikan komentar dan kritik terhadap posting yang bertajukan STOP SESAT dan MENYOAL PENYESATAN. Dalam email ini, saya tidak akan mengomentari satu persatu terhadap komentar maupun kritik yang telah disampaikan kepada saya, tapi saya akan menjawab satu saja, dan ini untuk semua (one for all).

Saya senang terhadap ikhwan/akhawat yang masih menyimpan kecintaan yang dalam terhadap kemulian agama Islam sebagai penyempurna terhadap agama-agama yang telah ada sebelumnya. Sehingga, satu orang pun yang mencoba "mengutak ngatik" Agama tidak sesuai dengan konsepsi pengajaran dan pelajaran Agama, maka akan diluruskan dengan penuh kebijaksanaan, sebagaimana Umar bin Khatab menggoreskan pedangnya terhadap salah satu gubernur yang ada di Mesir. Kecintaan yang dalam itu, tentunya, tidak datang dari pemahaman keagamaan yang parsial, melainkan tumbuh dan berkembang dari keluasan wawasan dan kedalaman penghayatan pelaksanaan keagamaan, yang pada akhirnya mengkristal menjadi bahan bagi meningkatakan nilai-nilai spiritual yang ada dalam diri setiap insan. Kedalaman ini, sudah barang pasti, didasari oleh pengedepanan norma dan etika dalam berdialog yang positif dan konstruktif, sejalan dengan amanah ilmiyah yang menjadi ciri khas dari para ULUL ALBAB sebagaimana yang senantiasa ditegaskan oleh Ibn Rush dalam karya monumentalnya FASHLUL MAQAL;FIMA BAINAL HIKMAH WASSYARI'AH MINAL ITTISHAL, maupun pemikiran kenamaan lainnya.

Semoga semangat ilmiyah yang dipenuhi dengan amanah, mengalir dalam relung-relung spiritual yang bermuarakan pada penyemaian kecintaan kepada setiap manusia, tanpa melihat identitas suku, bahasa, ras, agama, bangsa. "Aku tidak mengutus engkau (Wahai Muhammad), kecuali kepada seluruh diri manusia [yang ada di dunia ini]." Dengan kecintaan juga, Jalaluddin Rumi menjadi kebanggaan bagi semua umat manusia, dan dapat mempersatukan manusia dengan pesanan kecintaan dan kedamaian. Sehingga, pada akhir hayatnya, seluruh umat manusia; Islam, Kristen, Yahudi dll, ikut menyaksikan pengistirahatan sementara di bumi tercintanya.

Fenomena "aliran sesat", pada dasarnya, tidak hanya sekedar mereka "kurang paham" terhadap agama, melainkan lebih dari itu. Aliran sesat, bisa merupakan sebuah gerakan yang telah dibuat dengan sistematis oleh "oknum" tertentu, yang bertujuan tiada lain dan bukan, untuk memperkeruh iklim kenegaraan dan kebangsaan dengan berbagai dimensi kehidupan yang ada di dalamnya. Akar aliran sesat, yang perlu dicermati dan diteliti, bukan sekedar substansi pemikirannya, tetapi siapakah yang menjadi "dalang" dari semua gerakan aliran sesat ini. Mari kita mengkaji terhadap semua fenomena yang mencoba mengganggu stabilitas nasional, dengan berbagai "kedoknya",yang semuanya mengatasnamakan agama. Padahal tidak demikian, kalau kita telusuri akar permasalahannya. Saya kira, ikhwan/akhawat di milis INSIST yang senantiasa melaksanakan kajian dan diskusi intensif yang dimotori oleh INSIST, lebih mengetahui gejalan aliran sesat ini.

Sedangkan mengenai aliran sesat yang masih hangat, AL-QIYADAH AL-ISLAMIYAH, melihat dari sosok pemimpinnya, ia merupakan "boneka" yang dibuat dengan penuh rekayasa oleh "oknum" tertentu, bukan murni aliran sesat. Permasalahan yang mencuat, adalah siapakah motor daripada Ahmad Mosheddeq ini? Selamat berdiskusi. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada orang-orang yang belum sampai pada hadirat-Nya. Amien.

Wassalam,


Rahmat "SEQ"

posted by SEQ Training Center @ 22.42, ,

Mengapa Cendikiawan Muslim Takut Poligami?

Sepatutnya kita mendukung pengetatan praktik poligami. Karena dengan begitu, kita bukan hanya melindngi kaum perempuan, tapi juga tidak kurang pentingnya dapat lebih punya peluang untuk mewujudkan keluarga sakinah yang mudah-mudahan penuh mawaddah wa rahmah.

Kutipan di atas merupakan pernyataan cendikiawan muslim Indonesia, Prof. Dr. Azyu Mardi Azrah, Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta, yang ditulis pada harian Republika, 25/10/2007, dalam rubrik Resonansi. Setelah membaca tanggapan Azyu Mardi terhadap pembicaraan Pak Surono, di Jerman—sesuai yang diceritakan dalam Resonansi terrsebut—yang menyampaikan unek-uneknya kepada Azyu Mardi, ketika bertemu di salah satu tempat, di Jerman, saya “kaget” dan tidak menyangka, bahwa penulis memiliki pandangan sama dengan Pak Surono.

Pak Surono salah seorang yang kurang setuju dengan konsep poligami yang ada dalam Islam, dengan alasan poligami dapat “menelantarkan” istri-istri, dan tidak dapat berlaku adil, sehingga menjauhkan diri dari ridha-Nya. Pak Surono, mungkin yang lainnya juga, boleh berpendapat bagaimana pun terhadap konsep poligami. Pendapatnya itu, sudah barang tentu, dipengaruhi juga dengan wawasan dan pengetahuannya terhadap konsep poligami yang hakiki dalam Islam, maupun ajaran agama lain. Sehingga, Prof. Dr. Azyu Mardi Azra pun, yang memiliki wawasan luas dan pengetahuan dalam tentang studi Islam, memiliki pandangan sama—sebagaimana pernyataannya di atas tersebut. Mengapa alasan Azyu Mardi hampir mirip dengan pandangan Pak Surono, semestinya yang saya inginkan, ia lebih argumentatif dan substansialis sesuai dengan ajaran agama.

Poligami mengapa diperbolehkan oleh Allah SWT? Semua pernyataan Allah yang termaktub, terutama, dalam Al-Qur’an memiliki makna dalam, bukan hanya sekedar karena alasan sebagaimana yang dipahami oleh manusia seperti sekarang ini. Kalau pernyataan Tuhan adalah tidak memiliki filosofi yang cukup dalam, tentu saya akan menjadi orang pertama yang “protes” dan mengkritik Tuhan. Padahal tidak demikian. Dasar Poligami maupun pernikahan dilakukan, pada dasarnya, adalah untuk meningkatkan nilai-nilai spiritual dalam diri manusia, bukan hanya untuk kenikmatan semata (hedonis). Dari konteks ini, para nabi, para rasul, dan para guru-guru yang memiliki kualifikasi keilmuan hakikat sejati diri yang luhur, melalukan pernikahan dan poligami kalau dipandang perlu. Bahkan, dalam ajaran kejawen, seperti yang telah disampaikan oleh para pujangga masa lalu dalam tulisannya berbentuk serat—contohnya Serat Centini—menjelaskan tentang misi dan visi dari pernikahan, sehingga dapat mengaktualisasikan diri sejatinya yang hakiki, dengan sebutan “manunggaling kawula gusti”.

Ibnu Araby, sebagai syeikh sufi kenamaan di dunia Muslim, berpendapat demikian, bahwa tujuan pernikahan adalah untuk menemukan sejati dirinya yang hakiki, atau dalam bahasa literaturnya, “aku menemukan Tuhan dalam diri perempuan.” Pendapat ini yang dikutip oleh Sachiko Murata dalam bukunya, The Tao of Islam, adalah puncak dari penghayatannya yang terdalam dari jiwa Ibnu Araby. Dan, para guru suci, tidak jauh dengan Ibnu Araby berpendapat yang sama. Mereka memiliki juklah dan juknis, bagaimana menemukan Tuhan dalam diri perempuan. Perempuan menjadi lokus bagi peningkatan spiritual seorang lelaki, dan dengan sendirinya seorang perempuan mendapatkan pencerahan spiritual dari suami yang memiliki keilmuan hakikat sejati diri manusia yang abadi.

Dari pemikiran ini juga, mengapa Tuhan memperbolehkan hamba-Nya berpoligami. Wanita-wanita yang bekualitas—karena bobot, bibit, bebet yang tinggi—menjadi dambaan para lelaki yang mengenal ketuhanan dengan sempurna. Ciri-ciri wanita shaleha, adalah pertama, shidiq. Seorang istri harus jujur terhadap suaminya, sehingga menjadi buaian spiritual yang luhur akan mengkristal dalam diri istri. Kedua, amanah. Ia harus dapat dipercaya oleh suaminya, dan pandai menyimpan rahasia yang menjadi rahasia suaminya, begitu juga dengan hal-hal lain yang harus dipegang secara amanah oleh istri. Ketiga, tablig. Seorang istri tidak boleh menyimpan suatu rahasia tertentu dalam dirinya, kecuali suaminya mengetahui, sekalipun rahasia tersebut sebesar lubang jarum. Bagaimana seorang istri menyimpan rahasia dari pengetahuan suaminya, sementara istri ialah rahasia diri seorang suami. Keempat, fathanah. Seorang istri hendaknya cerdik dalam memahami pikiran dan keinginan suami. Setelah sifat empat ini ada dalam diri istri, maka suami harus dihiasi dengan dua sifat utama, yaitu pertama, qahar dan kedua, muhit. Dengan kedua sifat ini yang merupakan kewajiban suami memiliki keilmuan hakiat diri manusia yang paripurna, dan memiliki kekuatan yang tinggi bagi mengayuh bahtera rumah tangga dalam rangka mengenal eksistensi Tuhan sebagai rahasia diri orang-orang beriman. Nah, siapakah perempuan dan lelaki yang memiliki sifat di atas?

Sekalipun seorang suami memiliki dua sifat tersebut, tetapi istrinya tidak memiliki keempat sifat itu, maka cukup sulit bagi suami untuk meningkatkan spiritual secara optimal, begitu juga sebaliknya bagi istri yang memiliki kedua sifat tersebut, sedangkan suaminya tidak disifati dua sifat itu. Dalam rangka mencari sifat yang sempurna itulah, mengapa suami berilmu menikah lebih dari satu, bahkan sampai empat. Saya pernah mendengar langsung, bahwa ada seorang kyai bertutur kepada para jama’ahnya, dalam sebuah acara Majelis Ta’lim, “saya ini, hadirin semua, tidak memiliki harta yang cukup, hanya empat “petak” sajalah saya dikasih harta oleh mertua”, apa empat petak itu celetuk seorang jama’ah, “empat petak itu, adalah empat istri”, dan alhamduliiah dengan keempat istri saya dapat memberikan bantuan dan menjalankan dakwah seperti ini, tegas kyai. Itulah salah contoh sederhana dari para aktifis poligami.

Dalam teks keagamaan, misalnya, mengapa nabi bersabda, “wahai pemuda, kalau engkau ingin kaya, maka menikahlah”, tegas nabi. Seorang teman berkata, itu kan yang dimaksud dengan kaya dalam hadits tersebut, adalah kaya hati. Bukan hati saja, tetapi kaya dengan materi, tegas saya kepadanya. Tapi, permasalahan yang harus diketahui oleh kita, pernikahan yang bagaimana—dimaksud oleh nabi—sehingga dapat menjadi kaya. Begitu juga dalam hadits lain, Muhammad SAW. berkata; “aku senang dengan umatku yang banyak keturunannya.” Tentu pernyataan nabi tidak hanya sekedar ucapan biasa, namun perkataan itu merupakan ungkapan wahyu yang benar dan dapat dibutkikan kebenarannya oleh kasat mata, tapi hanya beberapa orang saja yang dapat membuktikan kebenarang perkataan nabi dengan kasat mata.

Oleh karena itu, saya mengajak para pembaca, mari mengkaji konsep poligami secara komprehensif, dan tingkatkan nilai-nilai spiritual yang ada dalam setiap diri. Tanpa peningkatan spiritual, hidup ini tidak akan berarti. Temuilah “kemanusianmu” yang menjadi rahasia dirimu semenjak zaman ajali. Temuilah para guru suci untuk menerangkan hikmah dari sebuah pernikahan. Temukan guru sejati bagi mengungkap harta yang terpendam dalam diri. Mengapa cendikiawan muslim takut poligami?

posted by SEQ Training Center @ 22.30, ,

Menuai "Rahmat" Bukan "Laknat"

“Pemerintah tidak boleh tinggal diam. Pemerintah harus segera menghentikan gerakan ini, usut dan tangkap pelakunya, termasuk siapa yang berada di belakang gerakan ini semua.” (Republika, 25/10/2007).

Statemen di atas, disampaikan oleh Rais Tanfidh Nahdatul Ulama, KH. Hasyim Muzadi, yang mengomentari terhadap berkembangnya organisasi Al-Qiyadah Al-Islamiyah, pimpinan Ahmad Moshaddeq. Setelah membaca pernyataan Hasyim Muzadi tersebut, yang dimuat di harian Republika, 25/10/2007, dengan tajuk PBNU Desak Hentikan Al Qiyadah Al Islamiyah, penulis tersentak dan termenung cukup lama, dan bertanya-tanya dalam benak pikiran, mengapa statemen itu harus keluar dari mulutnya orang bijak, yang memimpin ORMAS besar, Nahdlatul Ulama? Bukankah ia juga adalah salah satu tokoh Organisasi Lintas Agama?

Sebelum mengeluarkan pernyataannya, seyogyanya ia melakukan verifikasi dengan cara dialog bersama pendiri Al Qiyadah Al Islamiyah, sehingga mengetahui secara transfaran konsep umum tentang pemahamannya terhadap ajaran Islam. Atau mungkin, ia telah berdialog dan mengkaji dengan seksama terhadap pemahaman Ahmad Moshaddeq, dan mengambil kesimpulan bahwa Al Qiyadah Al Islamiyah adalah sesat dan merusak aqidah Islam. Parameter apakah yang dipakai oleh KH. Hasyim Muzadi dalam menilai Al Qiyadah Al Islamiyyah dan organisasi-organisasi yang memiliki kesamaan dengan Al Qiyadah adalah sesat? Saya tidak mendukung dan mengingkari terhadap pemahaman-pemahaman yang disampaikan oleh Ahmed Moshaddeq maupun lainnya, tapi saya lebih senang melakukan chek and rechek kepada sumbernya, dalam menemukan sebuah permasalahan yang sedikit banyak berhubungan dengan kepentingan publik, kemudian menarik benang merahnya dengan penuh kebijaksanaan. Metode inilah yang dipakai oleh ûlul albâb. Ketidakbijaksanaan dalam menilai pemahaman keagamaan seseorang maupun dalam sebuah payung keorganisasian, akan mendatangkan efek kurang baik bagi citra diri seseorang, dan kalau orang tersebut adalah memiliki jabatan publik, maka dapat mengurangi nilai kebaikan image organisasi.

Penyesatan bukan hanya dialami oleh Al Qiyadah Al Islamiyah, melainkan oganisasi lainnya pun nyaris mengalami yang sama, misalnya saja, beberapa bulan yang lalu, perguruan Mahesa Kurung (MK) telah disesatkan oleh Majelis Ulama Indonesia Bogor, dengan alasan—salah satunya—percaya kepada perdukunan adalah perbuatan musyrik. Begitu juga dengan Ahmadiyah yang mengakibatkan kerugian bagi jama’ahnya bukan hanya sekedar mental, tapi fisik pun dialami cukup parah oleh mereka. Sebelumnya pun, Lia Edent dihukumi sesat, dan merugikan masyarakat, sehingga ia harus “nyantri” dulu beberapa saat di “pesantrren” yang biliknya dari besi. Entah, apa dan siapa lagi yang akan menjadi obyek penyesatan. Siapa dan apa motif dibalik gerakan penyesatan yang dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat, selain ormas resmi? Semoga budaya ini tidak berkembang dengan cepat di bumi para waliyullah, Indonesia. Cukup hanya di ranah Arab.

Kedalaman Ajaran Islam
Makna filosofi ajaran agama Islam cukup dalam, sehingga hanya orang-orang cerdik dan pandailah yang dapat merasakan “manisnya” ajaran Islam. Ajaran Islam, kalau boleh saya ilustrasikan dengan sebuah “gitar”, ia (Islam) dapat dipetik sesuai dengan keahliannya orang memainkan gitar. Kalau petikannya dangdut, sudah jelas yang mendengarkannya pun pecinta dangdut, dan biasanya para “pengamen” di jalanan yang memetik gitar dengan nada dangdut, mendapatkan imbalan recehan. Tapi, kalau gitar dipetik dengan petikan klasik, maka yang menikmatinya juga, adalah orang-orang tertentu yang menyukai musik klasik. Musik klasik, realitasnya, dimainkan hanya di gedung-gedung mewah, dan yang hadir pun orang-orang “menengah”; para pecinta musik klasik, bayarannya pun cukup mahal. Begitulah dengan ajaran Islam, kalau ajaran Islam hanya dipahami metode “pemahaman” orang-orang umum, yang terjadi seperti sekarang ini, semua orang merasa punya hak untuk menyampaikan risalah Islam, sehingga para da’i yang seharusnya menyampaikan tuntunan, tetapi yang ada hanyalah menjadi “tontonan”, masyarakat hanya senang dengan “guyonan” para da’i saja, sedangkan isinya sudah tidak diperhatikan lagi. Tidak heran, masyarakat yang telah mendengarkan ceramah para da’i tersebut, setelah pulang ke rumahnya, yang diceritakan di keluarganya, ialah cerita guyonannya da’i, bukan substansi ceramahnya.

Untuk meminimalisir agar tidak mudah keluar pernyataan dalam menilai sebuah pemahaman keagamaan, hendaknya setiap orang, terutama orang yang memiliki kedudukan penting di organisasi kemasyarakatan untuk melihat terhadap ajaran Islam dari empat dimensi; dimensi syariat, dimensi thariqat, dimensi hakikat, dan dimensi ma’rifat. Dengan empat dimensi, pemahaman ajaran Islam akan berakarkan ke bumi bercabangkan ke langit. Keempat dimensi disampaikan dengan benar dan tepat oleh para guru yang struktur keilmuannya sampai pada pembawa pertama, Muhammad SAW. (dengan memiliki legalitas spiritual yang amanah), nasab para guru juga dapat dipertanggungjawabkan (sesuai dengan bobot, bibit, dan bebetnya), dan kepribadiannya pun mencerminkan akhlak mulia, sebagaimana Rasulullah, menjadi suritauladan bagi umatnya.

Perbedaan pendapat yang mencuat di blantika pemikiran dan pergerakan, sehingga keluar fatwa-fatwa sesat dari organisasi resmi masyarakat, dikarenakan—mungkin, semoga ini tidak terjadi—para inohongnya kurang memiliki kualifikasi sebagai seroang yang berilmu “luhur”; mengenal hakikat sejati dirinya, dan mengenal Tuhannya dengan pasti, serta telah sampai pada tapal batas ketuhanan dengan sempurna. Mereka yang telah sempurna ilmu ketuhanannya dan kemanusiannya, salah satu cirinya, tidak pernah menghukumi seseorang dikarenakan perlakuannya atau pemikirannya, melainkan mereka memberikan pengarahan dengan penuh kebijaksanaan terhadap orang-orang yang dianggapnya tidak sejalan lagi dengan ajaran dan tuntunan Agama, dan mengedepankan etika berkomunikasi dengan penuh kesantunan. Siapakah tipologi ulama yang demikian?

Tuhan mencintai para hamba-Nya yang selalu mengedepankan kebijaksanaan, bukan mengedepankan hukuman. Karena dengan kebijaksanan-Nya, Allah melanggengkan kehidupan ini dengan penuh dinamikanya. Kalau kebijaksanan-Nya telah dicabut, maka entah apa yang akan terjadi? Para nabi dan rasul diutus ke dunia ini, dari mulai Nabi Adam as. sampai pada Nabi Muhammad SAW., adalah untuk menyampaikan kebijaksanaan. Mengapa kita tidak mengikuti jejak mereka?

Menuai “Rahmat” Bukan “Laknat”
Era reformasi yang membuka kran nilai-nilai demokrasi dan universal bagi masyarakat untuk dapat direalisasikan, ternyata tidak bisa dinikmati dengan penuh kebebasan, setiap orang bebas menyampaikan pendapat, bahkan dalam ranah keagamaan pun, setiap orang bebas menjalankannya sesuai dengan pemahaman keimanannya, tapi tetap berjalan dalam koridor NKRI. Nah, bagi umat Islam, kebebasan ini sebenarnya menjadi gerbang utama bagi meningkatkan nilai-nilai pemahaman spiritual dalam setiap dirinya. Bukannya seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Fatwa sesat, musyrik, bid’ah, khurafat, dan klaim lainnya malah dengan bebas keluar, dan masyarakat dipaksa untuk mengikuti pemahaman ajaran keagamaan yang telah ada. Di manakah kebebasan untuk meningkatkan nilai-nilai keagamaan dalam diri? Perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar, dan hendaknya perbedaan tersebut disambut dengan peningkatan karya pemikiran, sebagaimana para cendikiawan sebelum tahun 1912.

Era reformasi hendaknya menjadi “rahmat” bagi masyarakat Indonesia, bukan menjadi “laknat” yang hanya dapat membawa ke alam keterpurukan; tidak mengenal kembali terhadap Tuhan sejatinya, yang dulu kala pernah bersaksi dengan-Nya, bahwa IA adalah Tuhannya, tetapi sekarang sudah melupakan eksistensi Tuhannya tersebut. Tuhan tidak di mana-mana, Tuhan hanya ada dalam diri manusia. Bukan seperti judul film sinetron, Tuhan Ada Di mana-mana. Bagaiamana kita mengingkari kedudukan Tuhan ada dalam diri kita sendiri, sedangkan Tuhan sendiri telah menyatakan dalam kitab suci-Nya; “Aku lebih dekat dari urat lehermu.” “Ingatlah Tuhanmu dalam dirimu.” Semua kitab suci agama-agama besar di dunia ini, menyatakan dengan jelas, bahwa Tuhan itu hanya ada dalam diri manusia. Titik. Wajarlah, kalau problematika multidimensi yang sedang menimpa bangsa Indonesia, salah satunya disebabkan oleh raknyat sudah tidak mengenal lagi terhadap Tuhan sejatinya. Syiar dakwah—bisa dibanggakan—berkembang dengan pesat di mana-mana, namun substansi agama sudah mengalami kekeringan. Spirit dakwah tidak lagi dengan mudah ditemukan dari mulut para da’i. Dinding agama telah hancur oleh umatnya sendiri, bukan hanya oleh umat lain. Ironis memang. Siapa yang dapat membangun kembali dinding agama?

posted by SEQ Training Center @ 22.38, ,

Puasa dan Rekonstruksi Diri Manusia

Puasa yang sedang dijalankan kaum Muslimin di seantero dunia, saat ini, menjadi momentum penting bagi Muslimin untuk “meningkatkan” nilai-nilai spiritual dirinya, sebagai “media” ber”semayamnya” rahasia besar, yang telah ada semenjak ajali. Rahasia besar ini yang dinamakan dengan “amanah” yang telah ditawarkan kepada petala langit-langit dan bumi, namun keduanya menolak menerima-Nya, tidak sanggup menerima beban besar yang akan ditanggung oleh dirinya. Dan, manusia “berani” menerima “amanah” besar tersebut, tapi—dalam perjalanan selanjutnya—manusia lalai dan bodoh (tidak tahu diri).

Amanah besar tersebut, tiada lain, ialah insân terpuji (Muhammad, artinya secara linguistik adalah yang terpuji). Mengapa menjadi manah besar? IA menjadi kutub meridien dari semua prosesi peribadatan kepada Maha Bijaksana, AlLâh SWT. IA dijadikan sebagai tempat “persambungan” Tuhan dan para malaikat, serta orang-orang yang beriman. “Sesungguhnya AlLâh dan para malaikat bersambung (yushallûna) di atas nabi, hai orang-orang beriman bersambunglah kepadanya, dan serahkan dirimu sekalian dengan penyerahan yang sempurna.” Mengapa masih banyak orang meragukan eksistensi insân terpuji? Bukankah asal muasal semua kejadian berasal dari insân terpuji? “Kalaulah bukan engkau, wahai Muhammad, Aku tidak akan menciptakan kosmos ini”, demikian tegas Tuhan dalam hadits qudsi.

Definisi Puasa
Puasa diserap dari dua kata Sansekerta, yaitu "upa" = dekat dan "wasa" = berkuasa. Jadi "upawasa" biasa dilafalkan sebagai puasa, merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam bahasa Inggris "Fasting" yang diserap dari kata Jerman kuno "fastan" = menggengam. Puasa dalam bahasa Ibrani tsum, tsom dan "inna nafsyo" yang berarti merendahkan diri dengan berpuasa, sedangkan dalam bahasa Yunani = nesteuo, nestis atau asitia/asitos. Bahasa Arabnya shaum atau shiam.

Melihat etimologi puasa dari bahasa Sansekerta, artinya “dekat berkuasa”. Merefleksikan pikiran kita pada, bahwa orang yang dekat kepada-Nya pasti memiliki kekuasaan untuk melakuak suatu pekerjaan bagi peningkatan kreatifitas dan inovasi dirinya, sehingga teraktualisasikan nilai-nilai spiritual yang telah ada dalam dirinya ke dalam kampas realitas kehidupan yang membutuhkan misi dan visi yang tepat. Tiada logika yang dapat menyangkal pemikiran demikian. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana mendekatkan diri kepadanya, sehingga memiliki “kekuasaan-Nya”? Semua orang berusaha untuk mengiterpretasikan dari makna “ibadah” (mendekatkan diri kepada-Nya), sesuai dengan tingkatan intelektualnya. Tapi, hakikatnya, semua orang tersebut, adalah mencari “pendekatan” pikiran yang sesuai dengan maksud dan tujuan serta keinginan Tuhan terhadap para hamb-Nya dalam mendekatkan diri kepada-Nya.

Metode untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, terus digulirkan oleh para cendikiawan (ulama) dengan mengukil beberapa teks keagamaan; Al-Qur’an dan Hadits. Ternyata belum sampai pada pendekatan hakiki, yang sesuai dengan keinginan Tuhan. Mengapa demikian? Metode efektif dan ideal sesuai perjalanan intelektual dan pengalaman spiritualitas setiap diri manusia, adalah dengan metode pengenalan diri. Bagi orang-orang yang telah kenal dirinya, mereka kenal eksistensi Tuhannya dengan tepat, dan dapat dibuktikan serta dirasakan secara nyata, sehingga muncul sebuah keyakinan yang paripurna (haqul yakin), bahwa mereka telah dekat dengan-Nya. “Barangsiapa yang telah kenal dirinya, maka sesungguhnya ia telah kenal Tuhannya.” (Hadits Qudsi)

Kenal diri merupakan main gate bagi mendekatkan diri kepada Tuhan. Bagaimana dapat mendekatkan diri kepada-Nya, sementara diri kita sendiri tidak kenal dengan baik. Tuhan tidak bersemayam di mana-mana, seperti yang diceritakan dalam sebuah sinetron televisi, Tuhan ada di mana-mana. Tuhan hanya “bersemayam” dalam diri manusia, dan hanya hati orang berimanlah yang sanggup menerima eksistensi Sang Maha Wujûd. Kalau eksistensi ketuhanan telah dipahami berada dalam diri manusia, langkah selanjutnya untuk mendekatkan diri kepadanya, adalah menjadi sesuatu yang mudah. “Carilah segala sesuatu dalam dirimu”, demikian pernyataan seorang filosof dari Turki.

Adapun makna puasa dari bahasa Inggris, yaitu “menggenggam”. Artinya, kalau kita telah dekat dengan-Nya, maka kekuasaan-Nya dapat kita “genggam” untuk diaktualisasikan ke dalam penciptaan kreatifitas bagi pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan manusia. Bisakah manusia “menggenggam” kekuasaan-Nya? Ingat pesan Tuhan dalam hadits qudsi yang berbunyi; “Kalau Aku telah mencintai hamba-Ku, maka Aku akan menjadi matanya untuk dia melihat, menjadi tangannya untuk bekerja, dan menjadi kakinya untuk berjalan.”

Sedangkan makna puasa dari bahasa Ibrani, yaitu “merendahkan diri”. Orang-orang yang telah kenal kepada hakikat sejati dirinya/hakikat eksistensi Tuhannya, mereka akan rendah diri. Karena orang-orang bijak, lebih banyak diam dan berpikir. Diam artinya, mereka senantiasa mengingat eksistensi ketuhanannya yang telah menjadi rahasia dirinya, pada setiap gerak dan langkahnya, bermeditasi (tafakur) sepanjang masa; tidak mengenal waktu dan tempat, mereka selalu ingat kepada-Nya. Mereka tidak banyak bicara—mengurangi pembicaraan yang dapat melalaikan dirinya untuk ingat kepada-Nya—permasalahan lain, kecuali berbicara mengenai ketuhanan dan kemanusiaan. “Barangsiapa yang telah kenal Tuhannya, maka kelulah lisannya.” Oleh karena itu, mereka tidak mendapatkan ruang lagi untuk “menyombongkan dirinya”, karena telah kenal pada hakikat dirinya. Walaupun, pada dasarnya, nilai-nilai ketuhanan itu—di antaranya—Maha Sombong (mutakabbir). Mengapa orang-orang yang “belum” kenal dirinya berlaku sombong dan angkuh?

Mengapa Manusia Harus Berpuasa?
Semua ritualitas peribadatan tidak lepas dari asbab—sebagaimana setiap surat dari Al-Qur’an diturunkan berdasarkan asbab nuzul—dasar pemikiran yang menyertainya. Asbâb peribadatan dalam Islam selalu terkait dengan eksistensi diri manusia. Begitu juga, dengan puasa. Filosofi historis puasa, adalah sebelum kita lahir ke dunia, pada bulan terakhir (dalam rahim ibu), huruf-huruf ditulis dalam diri kita sebanyak 30 huruf (30 huruf ditulis selma 30 hari). Jadi, selama satu bulan (30 hari), 30 huruf ditulis dalam diri kita. Pada waktu pagi, mulai terbit fajar, bayi yang ada dalam rahim tidak menerima makanan dari flasenta, kemudian pada sore hari—terbenam matahari, waktu Maghrib—bayi mendapatkan suplai makanan kembali dari flasenta.

Begitulah, napak tilas kita, yang diaktualisasikan dalam puasa selama bulan Ramadhan. Kalau telah memahami seperti ini, setiap diri kita dalam berpuasa Ramadhan, tidak akan lagi mengharapkan pahala dari semua pekerjaan ibadah di bulan Ramadhan, karena puasa merupakan napak tilas jati diri setiap manusia. Sehingga perenungan napak tilas ini, seyogyanya dilakukan setiap saat, bukan sekedar bulan Ramadhan. Begitu juga dengan peribadatan-peribadatan lainnya, merupakan napak tilas dari perjalanan hidup kita dari lahir sampai mati, dan dari mati sampai terlahir kembali.

“Bagi yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka puasa (fithri), kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhan.” Makna hadits ini, kalau kita melihat dari perspektif lain, akan berarti—sesuai dengan pemikiran di atas sebelumnya—kata fithri (yang diartikan berbuka puasa), adalah memiliki arti juga sebagai ciptaan/citra, sesuai dengan ayat lain yang mengatakan; “AlLâh menciptakan manusia sesuai citra-Nya.” Nah, kalau kita mengartikan kata fithri dengan ciptaan, maka akan berkorelasi dengan makna puasa sebagai napak tilas ketika dituliskan 30 (tiga puluh) huruf dalam diri kita. Jadi, bagi orang yang shâim (puasa) mendapatkan kebagian, pertama ketika diciptakan (fithri), dan kebahagian kedua adalah ketika bertemu dengan Tuhannya. Bertemu dengan Tuhan bukan berarti nanti, di hari akhir, melainkan ketika bayi akan lahir, Rabbul Jalil bertanya kepada bayi, apakah Aku ini Tuhanmu? Saat itu bayi (kita semua) menjawabnya, ya...Engkau adalah Tuhanku. Demikian jelas Al-Qur’an. Dengan demikian, arti dari hadits tersebut, menemukan korelasinya dengan makna puasa sebagai napak tilas. Kebahagian ketika diciptakan dan kebahagian ketika bertemu dengan Tuhan. Bukan sebagaimana yang diartikan selama ini, yaitu kebahagian ketika berbuka puasa, dan kebahagian ketika bertemu dengan Tuhan, nanti di hari akhir. Hendaknya pemahaman terhadap puasa, ditingkatkan oleh diri kita setiap tahunnya, sehingga menemukan makna hakikat dari puasa, dan semakin mendalam penghayatan terhadap ritualitas peribadatan dalam agama Islam. Ajaran Islam memiliki makna filosofi yang dalam, dan sempurna. Tidak seperti agama lain. Karena Islam datangnya terakhir, maka kesempurnaan ajarannya, sudah dapat dipastikan adalah lebih sempurna dari agama lainnya. Namun, mengapa sebagian dari kita, masih memahami semua ajaran Islam secara parsial, dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan terhadap nilai-nilai spiritual dalam semua ajaran Islam.

Begitu juga dengan bunyi ayat Al-Qur’an, yang selalu dijadikan landasan dalam berpuasa, oleh semua kalangan, yaitu “hai orang-orang beriman telah diwajibkan terhadap engkau semua untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada umat terdahulu (sebelum engkau semua), agar kamu bertaqwa.” Dari konteks pemikiran di atas, maka ayat ini akan berbunyi—ketika diterjemahkan—sebagai berikut; “Hai orang-orang beriman, telah dituliskan (diwajibkan) terhadap engkau semua untuk merenungi terhadap napak tilas perjalanan hidupmu ketika dalam rahim ibumu, sebagaimana telah dituliskan (diwajibkan) kepada orang-orang sebelum engkau semua, [hal ini dilakukan] agar engkau semua tunduk (taqwa)/rendah diri.” Tujuan dari puasa, terakhirnya, adalah memiliki jiwa yang rendah diri, tidak angkuh, karena telah mengenal dirinya, orang-orang yang berpuasa akan tawadhu, rendah diri, menghormati terhadap semua orang, dengan penuh kasih sayang dan cinta yang keluar dari lubuk sanu barinya. Itulah harapan dari pelaksanaan puasa secara lahiriah pada bulan suci, Ramadhan.

Refleksi Puasa;
Berdasarkan konsep pemikiran, bahwa puasa adalah suatu perbuatan napak tilas terhadap perjalanan hidup, maka perbuatan puasa dapat memberikan nilai-nilai positif terhdap dimensi kehidupan dalam bernegara, bersosial, berekonomi, dan berpendidikan. Dimensi negara artinya, memberikan spirit terhadap kinerja negarawan dalam mengayuh roda pemerintahan, baik yang ada di lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan lembaga eksekutif. Kinerja ini tentunya, akan bermuarakan pada kepentingan bangsa dan negara, dan tidak akan mendorong pada kepentingan pribadi, karena jiwa puasa sebagai napak tilas menuntut semua negarawan untuk senantiasa ingat pada hakikat sejati dirinya, sebagai media ekspresi dari kekuatan dan kekuasaan Sang Maha Kuasa. Nilai-nilai normatif ini, akan mewarnai kinerja negarawan seiring meningkatnya pemahaman spiritual dalam diri setiap insan.

Carut marut kebernegaraan kita, sedikit banyak, adalah dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman yang hakiki terhadap ajaran agamanya. Secara de jure, mayoritas negarawan Muslimin, seyogyanya memberikan nuansa moral yang puritan juga, namun realitas bericara lain. Bulan Ramadhan ini, dapat dijadikan momentum untuk meningkatkan pemahaman ajaran Islam yang hakiki, sebagaimana dipahami dan dijalankan oleh para spiritualis sejati yang selalu melantunkan kalimat thayyibah, dan mengingat sejati dirinya, tempat bersemayam Tuhan Yang Esa.

Dimensi sosial, nilai-nilai puasa akan memberikan dorongan kuat terhadap kekuatan kesosialan di antara kita. Manusia diciptakan untuk senantiasa mengingatkan satu sama lainnya, terhadap misi dan visi kehidupan yang hakiki, yaitu “mengenal eksistensi diri-Nya.” Misi untuk mencapai tujuan mulia, dapat diwujudkan dengan memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap saudaranya. Bagaimana dapat dikatakan telah beriman seseorang, apabila saudaranya masih ada yang kelaparan? Kelaparan salah satu problematika kemiskinan yang sedang menimpa negeri kaya ini, Indonesia. Mari menyatupadukan misi kehidupan, bagi menggapai kesatuan di antara bangsa Indonesia.

Dimensi ekonomi, kesenjangan ekonomi terjadi dengan mencolok di berbagai lini masyarakat. Kesejanjgan dipicu oleh budaya matealistik yang mengedepankan kaum yang kuat. Merekalah yang akan menggapai kesejahteraan perekonomiannya. Sementara, para dhuafa, hanya menelan ludah saja dari kesejahteraan yang dicicipi oleh para kaum kapitalis Melayu. Melalui spirit Ramadhan, kesejahteraan perekonomian rakyat dapat ditingkatkan, sebagai wujud kepedulian terhadap kaum papa dan miskin ini, melalui pemberdayaan zakat, infaq, sedekah, serta programisasi pemberdayaan ekonomi kecil oleh pemerintah dengan mengedepankan kepentingan kecil di atas kepentingan menengah. Kedhaliman dalam ekonomi, dengan sendirinya menurun, yang ada hanyalah kemaslahatan bersama. Di bawah payung ekonomi kerakyatan, sebenarnya, Muhammad SAW. dapat mensejahterakan umatnya pada masa itu. Aktualisasi ajarannyalah yang harus dihidupkan, dan direalisasikan secara seksama.

Dimensi pendidikan, sulitnya kaum kecil mencicipi pendidikan sesuai amanah Undang-Undang Dasar 45, diharapkan terkikis oleh adanya peningkatan spiritual di setiap diri para pemegang kekuasaan khususnya, dan masyarakat yang peduli terhadap masa depan generasi bangsa, umumnya. Pendidikan bukan hanya dimulai semenjak telah lahir, melainkan semenjak dalam kandungan pun pendidikan harus telah dimulai. Bahkan, dalam ajaran hakikat diri manusia, setiap orang yang akan lahir ke dunia, sebenarnya, telah dapat “diprogram” sedemikian rupa, sehingga sesuai kualtias calon bayi merupakan “produksi” unggulan, dan dengan sendirinya, menjadi generasi bangsa yang dapat diandalkan dengan baik.


posted by SEQ Training Center @ 23.07, ,

Nabi Musa Menampar Malaikat Maut?!

Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Buchari, bahwa "telah datang kepada Nabi Musa, Malaikat Maut, bermaksud mencabut nyawanya. "Assalamu'alaikum...wahai hamba yang saleh...Musa menjawab "wa'alaikum salam..."Kami datang hendak mencabut nyawa engkau. "Siapa menyuruh engkau datang kepadaku", tanya nabi Musa. Tuhanku yang telah mengutusku. Setelah mendengar jawaban itu, Nabi Musa langsung menampar "pipi" Malaikat Maut, dan Malaikat pun berdarah. Kemudian, tanpa menunggu waktu, Malaikat Maut kembali ke Tuhannya, dan menyampaikan kejadian yang dialaminya, mendengar laporan itu, Tuhan bertanya kembali kepada Malaikat Maut, mengapa kamu datang kepada hambaku yang saleh?"

Cuplikan dialog di atas, menggambarkan dan menuntut pikiran kita terhadap ilustrasi Malaikat Maut. Mengapa Malaikat dapat ditampar? Bagaimana bentuk Malaikat? Apakah maut dapat ditahan/dihindari? Penamparan yang dilakukan Nabi Musa membawa kita agar berpikir kembali terhadap pemikiran yang selama ini dibangun dalam benak pikiran terdalam tentang Malaikat Maut. Gambaran sederhana yang terjadi tentang Malaikat Maut, menyeramkan?!

Malaikat Maut, semenjak sekarang, harus dikenal dengan baik, sehingga ketika datang--nanti, misalkan--kita sudah mengenalnya dengan baik. Kalau sudah kenal, segala hal apapun, termasuk kematian yang merupakan tugas utamanya, dapat dinegosiasikan. Namun, celakanya sampai detik ini, sedikit yang mengetahui hakikat dari kematian, terlebih Malaikat Maut. Para ulama jarang menyampaikan informasi ini dengan tepat. Mengapa demikian? Pertama, kemungkinan seorang ustadz tidak mengetahui secara pasti terhadap eksistensi Malaikat Maut, hanya mengetahui dari cerita-cerita yang ada di kitab dan buku-buku lain. Kedua, kemungkinan seorang ustadz tidak menerima informasiyang benar tentang Malaikat Maut dari pengajaran yang diterimanya dari guru-gurunya. Ketiga, kemungkinan informasi ini hanya disampaikan pada kesempatan tertentu. Hanya orang-orang pilihan/tertentu yang dapat mengakses informasi penting ini.

Kematian tidak akan dikenal dengan benar dan tepat, tanpa menemukan seorang Guru Suci yang sering disebut sebagai MURSYID/GURU SEJATI. Dari diri-Nya, kita mengetahui secara pasti kedudukan kematian dan Malaikait Maut itu sendiri. Sudahkah Anda temukan mereka?

Kematian harus dikenal semenjak sekarang, sehingga bersahabat dengan baik. Bukankah, Nabi Muhammad bersabda, "matilah engkau, sebelum engkau mati". Artinya, kenalilah kematian sebelum kematian itu menghampirimu. Ketika kematian datang, engkau (kita) melihatnya, namun kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Mengapa? (ikuti lanjutannya pada bagian kedua)

posted by SEQ Training Center @ 23.04, ,

Bagaimana Menjadi "Anak" Spritual? Bagian Kedua

Beberapa pesan dari ritualitas ibadah, ada yang menjadikan, bahwa apabila seseorang melakukannya dengan tepat, ia akan menjadi seperti "bayi" lagi. Contohnya, pelaksanaan naik haji, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang melakukan naik haji, tidak berbuat keji dan fasik, maka orang itu akan kembali menjadi "bayi"." Artinya, ritualitas haji, kalau dijalankan dengan benar dan tepat, sesuai tuntutan Rasulullah, secara langsung ia akan meraih kebaikan yang kembali pada dirinya, yaitu menjadi "bayi". Bayi di sini, bukan berarti makna bayi secara literal, melainkan "bayi" makna demikian Syeikh Abdul Qadir Jailani berpendapat. Atau, "bayi" tersebut, dalam bahasa Al-Qur'an diartikan dengan "rasul". Temuilah "bayi" maknamu dalam diri, sudah barang tentu, bukan di luar dari diri. Barangsiapa mencari segala sesuatu dari dalam diri, ia akan menemukannya, pasti. Titik. Tapi, sebaliknya, barangsiapa mencari sesuatu di luar dari dirinya, ia tidak akan menemukan, abadan,abadan (selamanya).

Begitu juga, halnya dengan ibadah puasa--yang sebentar lagi kita laksanakan--akhir dari puasa adalah menjadi "bayi". Mengapa demikian? Perlu direnungi secara dalam makna puasa di sini. Tanpa merenungi maknanya, maka puasa hanya mendapatkan lapar dan haus belaka, demikian tutur Rasulullah. Puasa, paling tidak, artinya secara linguistik, ialah "di dalamnya ada makan malam". Karena, kata "puasa" berasal dari bahasa Arab, yaitu "Pi/Fi" (ada, di dalam), dan "asa/asya" (makan malam). Setelah memahami secara literal, puasa diartikan dalam maknawinya. Puasa itu, merupakan napak tilas perjalanan hidup kita di alam azali (rahim ibu). Sebelum lahir, ke dunia pada bulan terakkhir, huruf-huruf ditulis dalam diri kita sebanyak 30 huruf (30 hari= satu hari ditulis satu huruf). Jadi, selama satu bulan (30 hari), 30 huruf ditulis dalam diri kita. Dan, pada waktu pagi, mulai terbit fajar, bayi--kita--yang ada dalam kandungan rahim tidak menerima makanan dari flasenta, kemudian pada sore hari--terbenam matahari, waktu Maghrib--bayi mendapatkan suplai makanan kembali dari flasenta. Itulah, napak tilas kita, yang diaktualisasikan dalam puasa selama bulan Ramadhan. Kalau telah memahami seperti ini,setiap diri kita dalam berpuasa Ramadhan, tidak akan lagi mengharapkan pahala dari semua pekerjaan ibadah di bulan Ramadhan, karena puasa merupkaan napak tilas. Sehingga perenungan napak tilas ini, seyogyanya dilakukan setiap saat, bukan sekedar bulan Ramadhan. (Ikuti Diary Selanjutnya)

posted by SEQ Training Center @ 23.03, ,